Belum lama ini, seorang sahabat yang menjadi pengajar matematika
bersilaturahim ke kontrakan kami. Dalam kunjungannya, ada satu obrolan
yang masih ada di pikiran saya. Ia menceritakan tentang siswa privatnya
yang menunjukan gejala-gejala frustasi. Dalam belajar, siswanya selalu
menunjukan sikap pesimis dan penuh keluhan. Suasana seperti ini terang
membuat siswa tidak bisa berkonsentrasi dan pembelajaran tidak berjalan
efektif.
Kemudian saya coba telusuri seperti
apa karakter siswa yang dimaksud. Ia adalah seorang anak laki-laki yang
saat ini duduk di kelas 9 SMP. Berasal dari keluarga yang mampu secara
ekonomi dan peduli dengan pendidikan si anak. Kalau ditanya semangat
belajar, justru ia termasuk pembelajar yang bersemangat dan
berkeinginan menguasai banyak ilmu. Lantas, dimana letak permasalahan
yang menyebabkan si anak jadi frustasi?
Nah,
jawaban teman saya cukup membuat terkejut. Bahwa yang membuat si anak
frustasi adalah kepedulian orang tuanya. Karena teramat pedulinya orang
tua kepada anak, maka dibuatlah target-target yang harus dicapai si
anak. Apalagi si anak menginjak kelas 9 SMP. Tuntutan ketuntasan materi
dalam bentuk angka makin ketara. Sikap seperti ini jelas menjadi beban
bagi si anak. Belum lagi adanya omelan dan hukuman bila hasil belajar
tidak mencapai target. Lengkaplah kegalauan si anak.
Teringat
saya pada beberapa siswa yang pernah belajar bareng dulu. Agaknya
pernah juga ada yang terbebani dengan sikap orang tua mereka. Terkadang
kemampuan intelegensi mereka tidaklah buruk, namun nilai pelajarannya
seringkali jelek. Penyebabnya? Kurang lebih sama. Tentang ketatnya
target yang diberikan orangtua.
Saat
itu saya pernah mengajukan pertanyaan ke siswa, “Kamu besok mau sekolah
dimana? Kuliah akan ambil jurusan apa?” Banyak yang menjawab, masuk
sekolah favorit yang itu karena pendapat orang tua. Lebih-lebih untuk
yang hendak berkuliah, jurusan dan masa depan mereka seperti sudah
berada di tangan orang tua.
Dalam
tulisan ini saya tidak bermaksud mengajak para anak berontak kepada
orang tua. Sekali lagi bukan. Tapi lebih mengajak para orang tua untuk
merenung bersama tentang masa depan anak-anak kita. Apakah sejarah
sekolah anggota keluarga jadi landasan utama dalam pemilihan sekolah
anak kita berikutnya? Apakah juga sejarah kesuksesan anggota keluarga
atau rekan kita menjadi alasan utama menjuruskan kuliah anak kita?
Apakah kita yakin 100% anak kita mampu mencapai semuanya itu? Kalau
justru menjadi beban bagi anak-anak kita, bagaimana?
Cukuplah
beberapa anak yang sudah kami temui yang merasakannya. Tidak mudah bagi
kami mendampingi belajar mereka. Terus dan terus memotivasi “kalian
bisa” adalah yang biasa kami lakukan. Salah satu caranya, dengan
memberikan soal-soal latihan yang mudah bagi mereka. Berharap tumbuh
kepercayaan diri untuk terus belajar dan mencoba menjawab soal-soal
latihan yang lebih sulit.
Sebenarnya,
bersikap frustasi dan pesimis di awal ujian bukanlah perkara sederhana.
Ini bisa menjadi sangat gawat jika terus terjadi pada kehidupan si
anak. Karena bisa saja berujung pada “syndrom kekalahan” atau trauma
presepsi. Semoga ada kesempatan bagi saya bisa berbagi tentang hal ini.
Selamat mengajar dan mendidik!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar